Senin, 02 Maret 2009

Subsidi Pupuk dan Nasib Petani

Ir Suswono

Subsidi Pupuk dan Nasib Petani

Ada beberapa penyebab harga pupuk tetap lebih tinggi dari HET, yaitu disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan pupuk non bersubsidi, lemahnya pengawasan yang menjadi tanggung jawab Ko misi Pengawasan Pupuk dan Pes tisida (KP3), dan selisih antara kebutuhan pupuk di lapangan dengan alokasi.


Sebuah kemajuan empatif. Barangkali, itulah penilaian yang layak kita lontarkan sejalan dengan kenaikan angka subsidi pupuk untuk anggaran tahun 2008, dari semula Rp 6,7 triliun menjadi Rp 14,7 triliun. Alokasi anggaran yang sudah disetujui pemerintah bersama DPR RI ini bisa kita tegaskan se bagai refleksi kepedulian terhadap kepentingan petani. Apakah keberpihakan itu benar-be nar akan dira - sakan ka langan petani?

Petani kita sudah demikian tergantung pada aneka jenis pupuk seperti urea, NPK, SP36, ZA, dan KCl. Ketergantungan ini berdampak serius, yaitu kelangkaan pupuk setiap musim tanam. Jika barangnya ada, harganya jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang sudah dipatok pemerintah.

Sebagai gambaran faktual (temuan di lapangan), di beberapa daerah seperti Tegal dan Brebes — daerah sentra pertanian— harga pupuk urea untuk isi 50 kg/karung Rp 67 ribu hingga Rp 70 ribu, padahal HET hanya Rp 60 ribu. Di daerah lainnya —sebagaimana diutarakan Ketua Kelompok Tani Sumberwaru Kec. Dringu— harga pupuk bersubsidi Rp 140 ribu hingga Rp 150 ribu per kuintal, padahal HET Rp 120 ribu.

Perbedaan harga faktual di lapangan versus HET memperberat biaya produksi. Biaya yang harus dikeluarkanpetani praktis mengurangi hasil akhir ‘perjuangannya’, terlebih kalau ternyata mereka kemudian gagal panen. Derap kesejah teraan petani bukan hanya sulit be ranjak naik, tapi kian buram.

Apa yang mereka alami sungguh tidak adil. Kenapa? Alasannya dapat kita telaah pada kontribusi (baca: kepahlawanan) mereka dalam penyediaan pangan nasional. Menurut catatan Departemen Pertanian, tahun 2008 ini, petani dalam negeri mampu memproduksi sekitar 36,75 juta ton. Capaian ini dinilai bukan hanya mengantarkan catatan keberhasilan petani, tapi juga mengantarkan kondisi aman untuk ketersediaan pangan nasional. Hal ini sejalan dengan kuan titas kebutuhan pangan sebesar 32,62 juta ton. Berarti ada surplus sekitar 4,13 juta ton.

Surplus tersebut— dapat kita catat lebih jauh— merupakan kontribusi besar kaum petani dalam mengerem anggaran untuk importasi beras, yang kini harganya kian melangit. Harga beras internasional saat ini naik 250 dolar AS per ton, dari 2.850 dolar AS per ton pada Januari 2007 dan kini menjadi 3.100 dolar AS per tton. Dengan realitas harga beras internasional ini —di sisi lain terdapat surplus— maka petani kita layak mendapat gelar pah la wan devisa, yak ni dalam kategori me nahan potensi dolar terbang ke negeri jiran.

Ada beberapa penyebab harga pupuk tetap lebih tinggi dari HET, yaitu disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan pupuk non bersubsidi, lemahnya pengawasan yang menjadi tanggung jawab Ko misi Pengawasan Pupuk dan Pes tisida (KP3), dan selisih antara kebutuhan pupuk di lapangan dengan alokasi.

Disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan pupuk nonsubsidi yang terlalu besar —dapat men capai 3 kali lipat— telah mem buat para spekulan menjual pupuk bersubsidi ke sektor yang tidak mendapat subsidi pupuk (perkebunan swasta, perusahaan tanaman pangan, dan perusahaan peternakan). Selain itu, praktik penyelundupan pupuk ke luar negeri juga kerap terjadi. Hal ini membuat pasokan untuk pe tani berkurang —dan kalau pun ada— harganya dinaikkan melebihi HET.

Masalah kedua adalah lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) terhadap distribusi pupuk bersubsidi di setiap kabupaten atau kota. Langkanya pupuk dan harga yang jauh melebihi HET — mau diakui atau tidak— turut dipicu oleh tidak berjalannya fungsi KP3 yang dibentuk oleh pemda tingkat ka bupaten/kota. Kalau saja KP3 mengoptimalkan fungsi dan otoritasnya, setidaknya para distributor ataupun pengecer yang nyata-nyata menjual harga di luar ketentuan dapat diberikan sanksi. Di lain pihak, KP3 dapat memantau langsung wilayah yang kesu litan pupuk dan mengambil langkah cepat.

Masalah berikutnya adalah masih ada nya gap antara jumlah kebutuhan pupuk di lapangan dan alokasi pu puk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah. Selisih ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan perhitungan kebutuhan pupuk per luasan hektare lahan. Faktor ketiga ini relatif jauh lebih kecil pe ng aruhnya dibanding masalah le mahnya kinerja pengawasan dan disparitas harga yang dimanfaatkan oleh spekulan.

Jalan keluar
Melihat beberapa faktor permasalahan tingginya harga pupuk yang melebihi HET, setidaknya ada beberapa solusi. Pertama, optimalisasi kinerja Ko misi Pengawasan Pupuk dan Pes ti sida (KP3) di setiap kabupaten/ kota. Komisi yang berisikan unsur peme rintahan daerah, kepolisian, serta ke jaksaan, dapat menjadi ujung tom bak penertiban distribusi. Ketika petani setempat tetap menjerit, maka KP3 dapat melihat beberapa ke mung kinan yang mendesak untuk se gera diatasi, yaitu ulah para spekulan yang menimbun pupuk, menjual di atas harga ketentuan dengan ber bagai alasannya, dan menjual di luar wilayah kewenangannya seperti ke luar daerah, sektor swasta, atau bah kan menyelundupkannya ke luar negeri.

Kedua, pemberlakuan subsidi penuh harga pupuk bagi semua sektor, baik usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternak an yang dilakukan oleh petani maupun perusahaan swasta. Dengan demikian, tidak ada ruang pan cingan bagi para spekulan untuk mengambil keuntungan. Kalaupun hal ini dirasa kurang adil —perlakuan sama untuk petani dan swasta— pemerintah dapat mengganti kebijakan nonsubsidi pupuk terhadap sektor swasta dengan memperbesar pungutan pajak atau pembebanan insentif hasil produksi mereka. Dengan demikian, nilai ini dapat menutupi subsidi dan secara tidak langsung mengurangi peluang penyimpangan distribusi.

Ketiga, pemberlakuan distribusi secara tertutup. Selama ini, distribusi pupuk bersubsidi dilakukan secara terbuka, artinya pupuk yang menjadi barang subsidi dijual bebas di pasaran. Harusnya, barang subsidi ini dijual hanya kepada penerima subsidi, dapat disalurkan melalui kelembagaan petani yang sudah jelas penerima dan jumlah kebutuhannya. Ke depan, kelembagaan petani mesti diperkuat agar menghasilkan sistem yang berjalan secara tepat dan menguatkan daya tawar kaum petani.

Subsidi pupuk perlu kita catat sebagai entry point dalam upaya menerjang badai ketidak adil an yang menerpa petani. Karena itu, masih diperlukan pe rangkat aksi nyata untuk mengefektifkan kebijakan sub sidi, termasuk menghilangkan perilaku na kal se mua elemen (distributor, pengecer, spekulan, oknum aparat peng awas dan penegak hukum). Bagai ma na pun, dana subsidi pupuk —Rp 6,7 triliun saat ini— adalah anggaran negara yang tidak boleh sepeser pun disalahgunakan.

Mengambil hak petani atas anggaran negara adalah perilaku yang koruptif. Tidak berlebihan kiranya beberapa kalangan berharap agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperluas jangkauan kerja dan sektornya, termasuk salah satunya membongkar lingkaran setan pupuk bersubsidi. Inilah problem keadilan yang harus diubah, secara revolusif ataupun evolusif. Saatnya KPK turut ambil bagian penyelamatan puluhan juta petani Indonesia. Untuk misi keadilan dan kemanusiaan,khususnya petani sebagai pahlawan pangan nasional.

Ir Suswono
Wakil Ketua Komisi IV
DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar